MASAKINI.CO – Tubuhnya tampak mencolok dipandang diantara para pesepakbola PON Aceh. Seumpama tower listrik dikelilingi pepohonan.
Tinggi menjulang, membuat para bek tengah, Mohd Gazi Al Ghifari (180 cm), Al Bajili (180 cm), dan Irza Rahmad Dian (179 cm) berbeda dengan rekan setim lainnya.
Bagi Gazi, PON Aceh Sumut 2024 menjadi panggung penebusan. Bek asal Bireuen ini, musim 2022/23, sebenarnya sudah berstatus sebagai pemain profesional, membela Persiraja era kepemimpinan ‘Ustaz SBY.’
Nasib nahas membuat Gazi tak sempat mencicipi debut. “Sebenarnya inti ketika laga Persiraja vs PSMS Medan, tapi batal main karena insiden pembakaran stadion. Terus cedera,” ungkap Gazi.
Musibah tersebut didapat ketika Official Training (OT) jelang laga Persiraja vs PSKC Cimahi. Bulan September 2022. Hari-hari berlalu, kompetisi Liga 2 musim itu tidak rampung. Tragedi Kanjuruhan membuat kompetisi dihentikan.
Akhir September dua tahun lalu, Gazi memutuskan naik meja operasi. Selama tujuh bulan ia sabar menjalani terapi. Setiap menu fisioterapi, Gazi ikuti dengan seksama. Baginya, bisa merumput kembali adalah harga mati.
Kesempatan langsung kembali ke profesional anak dari pasangan Bukhari-Hera Lisda peroleh melalui Azmi Ponti, agennya. Kala itu membawanya trial ke tim legendaris, PSM Makassar. Ia masih ingat betul, 17 November 2023 Gazi benar-benar merumput di ‘pintu’ profesional.
“Sejujurnya sudah deal dan terpilih. Dikontrak profesional untuk tim senior, cuma mainnya di Elite Pro Academy (EPA) U-20,” jelasnya.
Kabar bahagia itu diperoleh usai empat hari Gazi menunjukan kapasitas diri. Di hari ketiga, Bernando Tavares memanggil Gazi ke salah satu ruangan di Stadion Kalagowa, Sulawesi Selatan. Ditemani Mas Roy, penerjemah, pelatih asal Portugal itu mengutarakan niatnya.
“Disampaikan bahwa Coach Tavarez tertarik dengan potensi Gazi. Cuma untuk main di tim utama, waktu itu belum memungkinkan. Disarankan untuk main di PSM EPA-U20 dulu demi jam terbang,” kenangnya.
Lama ia mempertimbangkan kesempatan berharga tersebut. Dalam kebimbangang, Gazi bertanya ke sejumlah pelaku sepakbola, termasuk pemain senior di Liga 1/2. Bahkan berkonsultasi dengan keluarga. Orang tua menjawab simpel, terserah sang anak bagaimana baiknya.
“Setelah dipikir-pikir, Gazi memutuskan untuk bersiap main di PON. Karena kalau kontrak profesional, sudah pasti tidak bisa main di PON. Beda dengan kontrak di EPA. Apalagi PON ajang bergengsi juga,” ujarnya.
Baginya, bisa bermain di PON maka kesempatan ke profesional masih terbuka. Apalagi masih muda. Tapi jika ia mengambil profesional, sudah pasti pintu main di PON tertutup. Terlebih, PON juga banyak pemandu bakat maupun agen yang memantau bakat-bakat muda.
“Insyaallah dengan PON 2024 bisa jadi jembatan ke profesional. Yang penting sekarang sehat terus, tidak cendera lagi,” harapnya.
Di tim sepakbola PON Aceh, Gazi dipercaya menjadi leader. Kapten tim. Ia mengaku bukan sebab dirinya hebat. Namun karena permintaan tim pelatih, dan ia menjadi penyambung lidah antara pemain dengan tim pelatih.
Pelarian Irza Rahmad Dian
Sejak kedatangan pelatih kepala, Rasiman. Kepercayaan diri Irza terdongkrak. Pemain asal Banda Aceh berdarah Medan ini, kian mendapatkan kepercayaan. Jika merujuk pada sejumlah laga uji coba, pemain kelahiran 2003 ini sudah sering menjadi pilihan utama.
“Tidak tahu juga kenapa sekarang terasa lebih percaya diri. Mungkin karena dulu menit bermain kurang,” sebut Irja.
Ia mengakui, di posisi bek tengah persaingan sangat ketat. Ada Gazi (kapten), Al Bajili rekannya di KNFC ketika Liga 3 Aceh, hingga Rajulul dari Bireuen. Semua mereka punya kelebihan masing-masing. Seperti keistimewaan kidal pada Rajulul.
“Kalau Gazi dan Alba, orang ini lebih tenang. Long passing-nya juga bagus,” akunya.
Sepakbola menjadi tempatnya mencari keceriaan. Sejak SMP, Irza harus berdamai dengan keadaan, akibat orang tua berpisah.
“Pas kelas enam SD ketika mak dan ayah ribut-ribut, Irja langsung ke lapangan sorenya. Biar tenang,” kenangnya.
Baginya segala takdir sudah dalam genggaman yang Maha Kuasa. Meski kedua orang tua berasal dari Medan. Sang ibu memutuskan pindah ke Banda Aceh saat Irza SMP. Mereka tinggal di tempat kakak kandung ibu, di Lamlagang, Banda Aceh.
Selesai SMP di Banda Aceh, ia memutuskan masuk PPLP Aceh tahun 2017. Informasi dicari, persiapan dilakukan. Singkatnya, Irja lolos. Di PPLP ia ditempa sebagai calon pesepakbola masa depan Aceh. Posisinya kala itu bermain sebagai bek kanan.
“Bersama PPLP Aceh sempat ikut Kejurnas 2019 di Bogor. Kami kalah di delapan besar dari Papua (1-0),” ungkap Irja.
Rasa penasaran menjadi juara Kejurnas masih ia pendam, ingin menyamai capaian seniornya di PPLP. Sayangnya, Kejurnas 2020 di Riau batal. Hanya dua minggu sebelum kick-off, karena Covid-19.
Tahun 2024 menjadi puncak capaian karena terpilih menjadi pemain PON Aceh. Hal ini menjadi kabar bahagia bagi anak dari pasangan Sumario-Husna. Meski jauh, kabar seleksi hingga hari-hari setelah di PON masih disampaikan pada ayah.
“Diucapkan selamat sama ayah. Cuma tidak tahu bisa nonton apa tidak, karena jauh juga,” ucapnya.
Ia berharap ayahnya bisa menyaksikan ia berlaga. Walau Irja realistis terhadap keadaan dan jarak. Banda Aceh bukan kota asing bagi Sumario. Ia pernah menjadi koki di hotel berbintang yang beralamat di Lampineung. Ketika awal-awal SD Irja dulu.
Alba Bek Tenggah Termuda
Bagi Al Bajili (Alba) bisa bermain di PON Aceh menambah portofolionya di tingkat nasional. Sebelumnya, pemain kelahiran 2005 ini sudah pernah mentas di panggung nasional di Piala Kasad atau Liga Santri 2022. Di Bandung, kala itu ia terbilang tampil cukup baik.
“Sayangnya kami kalah dari tuan rumah Jawa Barat. Tim yang akhirnya juara di Piala Kasad 2022,” ujarnya.
Postur ideal menjadi bekal bagi pesepakbola dari Gampong Lingka Kuta. Sejak kecil, Alba berlatih di Lapangan Sepakbola Persipura Gandapura, Bireuen. Setelahnya, melanjutkan latihan di Stadion Krueng Mane, Aceh Utara.
Jarak antara Krueng Mane dengan Geurugok (ibukota Kecamatan Gandapura) dekat. Keduanya merupakan perbatasan antara Kabupaten Aceh Utara dengan Bireuen. Selama berlatih di sana, Alba berkesempatan main di Piala Menpora U-14 tahun 2019.
Ia direkomendasikan Papi (panggilan) pelatihnya di Krueng Mane, untuk memperkuat Posila Lhokseumawe. Juara di Aceh, dan berangkat ke nasional. “Di Piala Nasional Menpora, Solo, kami Juara Grub B. Itu jadi pengalaman penting sebagai pemain muda,” ujarnya.
Piala Menpora dan Piala Kasad belum cukup memuaskan hasrat Alba. Anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Abdul Fata-Fauziah ini mewujudkan impiannya di skuad PON Aceh. Walau awalnya ia ragu bakal terpilih.
“Ragu karena persiapan mandiri. Apalagi kemarin anak-anak Bireuen latihan bersama, sedangkan Alba di Banda Aceh, kuliah. Beda latihan sendiri dengan tim,” beber Alba.
Meski begitu, diakuinya, ia tetap menyempatkan waktu beberapa kali pulang-pergi Banda Aceh-Bireuen, agar bisa berlatih bersama. Bangku kuliahnya terganggu, karena fokus terbagi. Tapi pengorbanan harus ia ambil, demi cita-cita terpilih memperkuat Aceh di PON XXI Aceh-Sumut.
Setelah terpilih, sebagaimana pemain lainnya, performa Alba naik turun. Posisinya akhir-akhir ini terancam tidak menjadi pilihan utama. Meski sebelumnya, menjadi langganan.
“Tidak tahu juga kenapa. Ini soal konsistensi saja. Kadang saya lagi bagus, kadang kurang. Dan Irja sedang naik,” jelasnya.